RSS

Women Food and God: Kenapa Diet Kita Sering Gagal?

19 Jul

Sang penulis benar-benar mengalami sendiri peperangannya terhadap berat badan, terhadap diet yang gagal, terhadap rasa ketidak amanan dan ketidak puasan terhadap dirinya.

Sejak dulu, saya orang yang suka sekali buku. Buku bisa membuat perubahan yang besar dalam hidup saya. Saya pun kerap mencari buku-buku yang membuat pandangan hidup saya bertambah luas, membuat saya lebih cerdas dan lebih aware terhadap berbagai hal. Bisa dibilang, buku adalah salah satu hal yang memerdekakan cara berpikir saya.

Nah, ini ada buku yang menarik yang saya baca: Women Food and God karangan Geneen Roth. Saat saya membaca review buku ini di situs Oprah, saya langsung memesan buku ini melalui Amazon. Sekarang buku ini bisa kita peroleh di toko buku Periplus, namun sejauh ini masih dalam versi bahasa Inggris.

Yang menarik adalah sang penulis, Geneen Roth, benar-benar mengalami sendiri peperangannya terhadap berat badan, terhadap diet yang gagal, terhadap rasa ketidak amanan dan ketidak puasan terhadap dirinya. Terhadap berbagai luka batin yang membuatnya bermasalah dengan pola makan. Ia berhasil keluar dari pergulatan tersebut dan sering menyelenggarakan berbagai program retreat yang berkaitan dengan bukunya ini. Anda bahkan bisa mengikuti retreat-nya secara on line di http://www.geneenroth.com/selfguided/

Buku ini membuat saya sadar bahwa adanya berbagai lapisan psikologis yang diwakili oleh makanan.  Lapisan psikologis yang tidak kita sadari tersebut membuat kita terobsesi dengan diet, membuat kita secara konstan berperang dengan makanan dan secara konstan pula kita kalah dari peperangan batin kita melawan makanan. Kita tidak menyadari perang apa yang sebetulnya bergulat dalam batin kita. Buku ini membuat saya mengerti bahwa hubungan kita terhadap makanan sebetulnya mewakili hubungan kita yang terdalam terhadap diri sendiri. Otomatis, bagaimana kita berhubungan dengan diri kita menggambarkan bagaimana hubungan kita dengan kehidupan.

Banyak saat dimana kita tidak berdamai dengan kehidupan, bahkan dengan Tuhan, dan kita mencarinya melalui makanan.

Dengan demikian ini menggambarkan bagaimana hubungan kita dengan Tuhan. Lebih dalam, buku ini membahas mengenai bagaimana kita memandang kebahagiaan serta rasa damai terhadap diri sendiri. Bagaimana kita memandang sebuah hidup yang memuaskan. Semua itu tentunya berpengaruh terhadap gaya hidup dan cara kita memperlakukan makanan. Jadi sebetulnya akarnya ada dalam kondisi mentalitas kita, kondisi psikologis kita, kondisi spiritualitas kita. Masalah kita terhadap pola makan kita ternyata berkaitan secara dalam dan luas dengan semua hal dalam kehidupan kecuali makanan itu sendiri!

Makanan = lambang rasa aman dan nyaman

Saya membaca buku ini saat saya sedang berevolusi dengan cara saya memperlakukan makanan yang masuk ke dalam tubuh saya.  Judulnya buat saya sangat menggelitik : Woman Food and God. Sangat revolusioner. Saya sudah membacanya dan sedang membacanya lagi untuk kedua kalinya (ada beberapa buku yang saya baca berulang karena setiap saat ada pemahaman yang berkembang). Apa kaitannya wanita, makanan dan Tuhan?

Salah satu inti dari buku ini adalah kita sering sekali berpikir jika tubuh kita bertambah gemuk bahwa itu adalah melulu tentang banyaknya makanan yang masuk. Tapi sebenarnya, kenyataannya, makanan itu hanya representasi dari kondisi mental kita. Contohnya, jika makanan itu adalah simbol keamanan dan kenyamanan bagi kita (waktu kecil kita menyusui ibu, dimana air susunya adalah makanan pertana kita, hingga tanpa disadari ibu merupakan sosok pelindung sejak kita bayi dimana kita merasa aman dan nyaman), maka pada saat kita merasa tidak aman serta tidak nyaman seperti saat ada hal yang membuat kita stress, kita akan melarikan diri ke makanan agar kita merasa tenang dan nyaman.

Jadi sebetulnya, ada hal-hal yang sifatnya jauh lebih dalam di banding makanan itu sendiri. Bagaimana hubungan batin kita terhadap makanan. Mengerti tentang apa saja perasaan yang di wakili oleh makanan, membuat kita sadar bahwa ada banyak hal yang kita kompensasikan kepada makanan yang kita makan, yang sebetulnya untuk mengisi kriteria tertentu dari diri kita yang saat itu sedang tidak bisa kita penuhi.

Diet, penghargaan diri, tujuan hidup dan spiritualitas

Yang menarik lagi di dalam buku ini adalah pembahasan tentang diet. Kebanyakan wanita selalu berdiet agar kurus, agar memenuhi standard penerimaan masyarakat terhadap apa yang di sebut ‘cantik’. Sayapun pernah melewati fase itu, sebelum akhirnya sekarang saya lebih fokuskan ke kesehatan lahir dan batin sebagai manusia yang utuh. Ini hal yang sulit karena yang harus kita ‘kerjakan’ adalah kondisi mental kita yang tidak terlihat.

Dibahas  bahwa seringkali diet yang dijalani wanita gagal total. Banyak diantaranya berhasil menurunkan berat badan. Tapi kemudian badan kembali ke berat semula, bahkan lebih berat dari berat awalnya. Ternyata diet memberikan kita perasaan bahwa diri kita penting. Ada sense of importance di dalamnya. It makes us feel ‘important’. Diet secara tidak disadari membuat para wanita merasa punya tujuan hidup setiap harinya. Tanpa disadari itu sebetulnya adalah cara melarikian diri untuk menutupi kurangnya rasa percaya diri terhadap seberapa berharganya diri kita, seberapa kita menghargai diri sendiri.

Diet mengisi rasa kekosongan atau rasa hampa kita terhadap tujuan hidup kita. Akui saja, kita sering merasa saat kita berdiet kita berada dalam sebuah misi penting bukan? Pada kenyataannya diet tidak mengatasi akar permasalahan kita terhadap bagaimana kita menghargai diri kita sendiri, diet akhirnya tidak mengatasi akar permasalahan kita terhadap kebingungan kita terhadap tujuan hidup. Jadi sebetulnya mungkin saja diet  mengisi ketidaktahuan kita terhadap apa yang menjadi tujuan kita hidup di dunia ini. Dan akhirnya beranggapan “Jika saya diet, saya akan kurus. Jika saya kurus, saya akan lebih menarik. Lingkungan saya akan menghargai saya, akan menanggapi saya. Saya akan bahagia. Hidup saya akan lebih mudah. Saya akan mudah meraih yang ingin saya capai.”

Sering kali kita makan pada saat tidak lapar, bahwa sebetulnya secara psikologis kita ‘lapar’ terhadap berbagai hal yang mengkhawatirkan kita yang tidak atau belum berhasil kita ketahui jawabannya. Namun makanan begitu mudah untuk di dapat dan di sentuh oleh diri kita dan oleh karenanya makanan sesaat menjadi ‘jawaban’ atas ‘kelaparan’ diri kita, pelarian yang akhirnya menambah masalah baru jika kerap di lakukan. Ternyata kedalaman spiritualitas kita mempengaruhi sepenuhnya terhadap bagaimana kita memperlakukan makanan.

Untuk lebih tahu seperti apa pengarang menjelaskan pergulatan wanita, makanan dan diet serta kaitannya dengan spiritualitas, berikut kalimat yang saya kutip dari buku tersebut:

“Women turn to food when they are not hungry because they are hungry for something they can’t name: a connection to what is beyond the concerns of daily life. Something deathless, something sacred. But replacing the hunger for divine connection with Double Stuf Oreos is like giving a glass of sand to a person dying of thirst. It creates more thirst, more panic. Combine the utter ineficacy of dieting with the lack of spiritual awareness and we have generations of mad, ravenous, self loathing women.

Secara general, buku ini membahas apa yang tidak pernah dibahas oleh buku lainnya. Pada saat semua pakar gizi dan pakar diet berbicara, pada saat kita menjalani misipaling mulia abad ini untuk terlihat langsing dan kerap berganti program diet, dokter dan berbagai obat pengurus, kenyataannya yang harus kita hadapi sejak awal yang paling menjadi esensi dasar adalah pemahaman diri kita terhadap diri kita sendiri dan terhadap kehidupan.

Banyak hal dimana kita tidak berdamai dengan diri sendiri dan mencari kedamaian dari makanan. Banyak saat dimana kita tidak berdamai dengan kehidupan, bahkan dengan Tuhan, dan kita mencarinya melalui makanan. Banyak saat dimana rasa kekecewaan kita terhadap diri atau kehidupan, kita obati dengan rasa sedap dari makanan, dan berpikir ” saya merasa kecewa, tapi setidaknya saya bisa merasakan rasa senang dari enaknya makanan ini”. Atau perasaan seperti ” saya tidak puas dengan diri saya, tapi setidaknya saya bisa memuaskan diri saya dengan makanan ini”.

Setelah membaca buku ini, pola pikir saya berubah dan saya kerap harus tetap menjaga perubahan tersebut, pemahaman saya terhadap diri saya (bahkan terhadap rasa sakit, rasa takut, kekecewaan dan berbagai kekurangan dalam diri saya).

Ini mempengaruhi hubungan saya terhadap kehidupan dan Tuhan, yang menjadi sumber dasar dalam menjalani hidup. Serta merta itu merubah bagaimana saya menyikapi makanan, bahkan akhirnya, itu berpengaruh sepenuhnya terhadap kehidupan saya seutuhnya.

Seperti yang ditulis Geneen Roth dalam kalimat berikut:
“In the process of resisting emptiness, in the act of turning away from our feelings, of trying and trying again to loose the same twenty, fifty, eighty pounds, we ignore what could utterly transform us. But when we welcome what we most to avoid, we evoke that in us that is not a story, not caught in the past, not some old image of ourselves. We evoke divinity itself. And in doing so, we can hold emptiness, old hurts, fear in our cupped hands and behold our missing hearts”.

Buku ini wajib di baca bagi siapapun (bahkan bukan hanya wanita) yang ingin berevolusi, bahkan bukan hanya dalam mengatur pola makan, bukan hanya bagi yang ingin langsing, tapi untuk mengerti bahwa berbagai hal itu bermula dari pengertian kita yang sesadarnya terhadap diri dan kehidupan.

 
Leave a comment

Posted by on July 19, 2010 in health, information

 

Leave a comment